DaerahNasionalNewsOlah RagaPeristiwa

Sikapi Kematian MA, Komnas PA dan Singky Soewadji Minta yang Terlibat Harus Dipidana

Jakarta – Terkait kematian joki kuda anak dibawah umur yang diketahui berinisial MA (6) tahun asal Desa Dadibou, Kecamatan Woa, Kabupaten Bima mendapat perhatian serius dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA).

Berdasarkan hasil investigasi tim Litigasi dan Advokasi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Bima pada Senin 14 Maret 2022, bahwa MA alias Peci meninggal dunia setelah terjatuh saat berlatih menjoki kuda di Arena Pacuan kuda Desa Panda.

MA meninggal dunia saat terjatuh dari kuda dalam keadaan pingsan dengan mulut berbusa, sehingga LPA Kabupaten Bima melaporkan atas kematian MA yang sangat tragis itu ke Polres Bima.

Diterangkan LPA Kabupaten Bima, kematian joki cilik ini (MA) sangat memprihatinkan sekali, meski orang tuanya tau MA terjatuh dari kuda dengan kondisi kritis diwaktu itu, beliaunya tidak punya rasa ibah terhadap anaknya.

“MA tidak dibawa ke Rumah Sakit (RS) melainkan dibawah ke rumahnya sendiri oleh orang tuanya, MA hanya diinfus dan didatangkan berbagai macam dukun, karena kata orang tuanya serta neneknya MA kerasukan setan,” kata LPA dalam keterangannya.

Saat kejadian itu berlangsung, banyak masyarakat yang menyaksikan ketika MA terjatuh dari kuda, kemudian masyarakat menyerahkan MA kepada orang tuanya untuk dibawah ke RS, namun orang tuanya justru membiarkan MA dengan merawat dirumahnya.

“Setelah tiga hari dirawat di rumahnya, akhirnya MA menghembuskan nafas terakhirnya (Meninggal Dunia), dan perlu diketahui dalam waktu terakhir ini sudah 3 joki anak ditemukan meninggal dunia,” ujarnya.

Untuk itu, Ketua Umum Komnas PA Arist Merdeka Sirait menanggapi arena pacuan kuda yang melibatkan anak sebagai joki yang sangat berbahaya dan juga mengancam nyawanya.

“Karena pemanfaatan anak dibawah umur yang dijadikan joki kuda, merupakan ekploitasi yang dapat dikenakan sanksi hukuman penjara maksimal 15 tahun, dan dapat ditambahkan sepertiga dari pidana pokok menjadi 20 tahun,” ucap Arist selaku Komnas PA.

Arist juga menegaskan kepada pengelola dan penyedia arena pacuan kuda, panitia, maupun aparat Pemerintah yang dengan sengaja membiarkan joki anak dibawah umur agar dapat dipidana sesuai hukum yang berlaku.

“Kematian yang mengenaskan terhadap MA ditemukan unsur pembiaran, dan kami tetap mendesak Polres Bima untuk meminta pertanggung-jawaban kepada orang tuanya dan juga panitia serta penyedia arena pacuan kuda tersebut agar tidak ada korban lagi,” paparnya.

Selain itu, Arist meminta Bupati dan DPRD Kabupaten Bima serta Stake Holder agar segera melarang joki cilik dan menutup arena pacuan kuda itu, karena mensinyalir pacuan kuda tersebut lebih dominan dipakai sebagai sarana judi, daripada untuk tujuan kebudayaan dan wisata.

“Apapun alasannya, menggunakan dan memanfaatkan anak dibawah umur sebagai joki kuda tidak bisa dibenarkan dan harus dihentikan,” tukasnya.

Arist juga menyampaikan, bahwa pemanfaatan joki anak ini harusnya untuk kepentingan budaya, namun sekarang lebih banyak joki anak dijadikan sebagai joki judi, karena para penjudi lebih menarik pada joki cilik yang masih berusia muda untuk menarik kehokiannya.

“Banyak joki anak difasilitasi oleh orang tuanya untuk ditawarkan kepada juragan-juragan judi yang ingin menyaksikan joki cilik beraksi diatas kuda tunggangannya yang sudah disiapkan, dan hal itu jangan kita biarkan anak kehilangan hak hidupnya. Ayo kita sudahi ini semua,”urainya.

Sementara, Singky Soewadji selaku mantan Kepala Bidang Pembinaan, Prestasi, Monitoring, Evaluasi (Kabid Binpres dan Monev), serta Pengurus Pusat Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PP Pordasi) ini, menanggapi permohonan dari Komnas PA untuk melarang joki anak dan menutup arena pacuan kuda tersebut.

“Pacuan kuda yang dimaksud Komnas PA tersebut adalah pacuan tradisional pesta rakyat, tidak ada hubungannya dengan Pordasi. Istilah joki untuk pacuan kuda, joki di Pordasi tidak ada di bawah umur dan untuk jadi seorang joki harus mengikuti banyak tahapan, pertama yang harus jadi Riding Boy dulu,” terang Singky.

Pria asal kelahiran Surabaya ini juga berpengalaman sebagai joki, atlet bahkan pelatih nasional berkuda setelah Riding Boy Singky dianggap punya kemampuan oleh pelatih yang diikutkan tes sebagai joki.

Dijelaskan Singky, sebelum mengikuti pelatihan saya sudah melakukan pengujian joki bagaimana cara mengendalikan dan menahan kuda agar tidak lari semaunya, karena untuk jadi seorang joki harus mampu mengendalikan dan mengontrol dari atas kuda yang tungganginya.

“Setelah lulus, baru saya diperbolehkan ikut pacuan kuda dengan peraturan yang sangat ketat karena didalam pertandingan tidak boleh memotong lajur lawan, dan kudanya tidak boleh berlari zig-zag agar tidak membahayakan lawan,” bebernya.

Lebih Lanjut Singky, bahkan cara mencambuk kuda juga ada aturannya, tidak boleh asal cambuk semaunya sendiri. Belum lagi urusan berat badan dan jenis pelana, semuanya ada tata cara dan aturannya masing-masing.

“Kalau atlet berkuda bisa dari usia 6 tahun, tapi ini olahraga ketangkasan serta keserasian berkuda bukan pacuannya, dan itupun ada tahapannya yakni, sang atlet harus piawai menunggang diatas kudanya, baru bisa mengikuti latihan Show Jumping (Loncat Berkuda) yang juga tidak kalah bahayanya dengan pacuan kuda,” tuturnya.

“Kalau belum bisa menguasi itu semua akan beresiko jatuh terpental dari kuda bahkan tertindih oleh kudanya sendiri. Disinilah fungsi dan kualitas pelatih harus mumpuni,” imbuhnya.

Maka dari itu, untuk pelatih, baik itu untuk kuda pacu maupun ketangkasan berkuda (Equestrian) harus memiliki sertitikat dengan mengikuti pendidikan, tidak bisa asal sudah pernah jadi joki dan bisa naik kuda langsung mengklaim dirinya menjadi pelatih.

“Saya secara pribadi setuju dan sependapat dengan Komnas PA, pacuan tradisonal yang melibatkan anak usia di bawah umur tanpa melalui pendidikan berkuda harus dilarang, dan panitia termasuk siapapun yang terlibat dalam kasus kematian joki cilik MA wajib dipidanakan,” tandasnya. @San

Related Articles

Back to top button