Seni Budaya

Mengintip Jejak Sejarah Sumber Nagan dan Sumber Awan Peninggalan Kejayaan Kerajaan Singahsari

MALANG, hallojatimnews – Jika Anda berkunjung ke Kota Malang, sempatkan untuk mengunjungi obyek wisata Sumber Biru dan Sumber Nagan. Nuansanya masih alami dan dapat membuat wisatawan terhanyut dan larut dalam kisah kejayaan Kerajaan Singhasari pada masa lampau.

Kedua situs ini letaknya bersebelahan di tepi Sungai Klampok yaitu di Dusun Biru, Desa Gunungrejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Untuk menuju tempat wisata ini bisa dikatakan gampang-gampang susah. Mudah karena seluruh jalan menuju lokasi telah diaspal tetapi jalan selanjutnya kondisinya terjal dan curam. Jika hujan jalan menjadi licin.

Lokasi Sumber Biru memang agak terpencil tetapi tidak jauh dari jalan raya menuju Dusun Kreweh, Desa Gunungrejo.

Dari Candi Singosari hanya berjarak sekitar 1,5 kilometer ke arah barat laut dan dari Pasar Singosari berjarak sekitar 6-7 km. Untuk mencapai lokasi ini bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi atau ojek. Biaya naik ojek hanya Rp 5.000 sekali jalan.Selasa ( 27/8/19)

Setelah tiba di lokasi, pengunjung tidak bisa langsung menuju ke Sumber Biru. Anda harus berjalan kaki melalui pematang sawah. Keadaan jalannya menurun tetapi tidak terlalu jauh, hanya sekitar 150 meter dari tepi jalan.

Konon menurut cerita, nama Dusun Biru berasal dari munculnya sebuah mata air yang mengeluarkan gumpalan-gumpalan air yang berwarna biru seperti tinta. Di sumber air inilah Empu Gandring mensucikan keris hasil tempaannya.

Semua senjata kerajaan disucikan terlebih dahulu untuk kemudian dikirab ke seluruh kawasan kerajaan. Penyucian senjata kerajaan sendiri harus melalui dua kali proses, yang pertama senjata direndam ke dalam mata air yang disakralkan, yaitu Banyu Biru, kemudian disucikan ke petirtan Sumber Nagan.

Petirtan adalah sumber air yang diyakini sudah ada sejak zaman dahulu, bahkan sampai sekarang pun keyakinan itu masih melekat di sebagian masyarakat.

Petirtan Sumber Nagan adalah tempat mandi orang-orang sebelum atau sesudah melakukan aktivitas ritual tertentu. Saat ini, petirtan yang ada tinggal di Kedungbiru atau Batarubuh yang terletak agak ke selatan. Di Kedungbiru inilah letak dua sumber kecil, yaitu Sumber Kahuripan dan Sumber Biru yang airnya berbeda. Yang satu airnya bersih, sedangkan yang satunya airnya putih seperti air gamping keluar dari bawah akar pohon ipik-ipik, yakni sejenis pohon beringin. Anehnya lagi, dua jenis air yang berbeda warna itu tidak saling mempengaruhi.

Sumber Biru memiliki panorama alam yang cukup indah dengan dihiasi beraneka ragam kicauan burung. Pohon-pohon terlihat menghijau dan pantulannya menembus riak-riak air yang ada di dalamnya. Nilai historis situs ini membuatnya tetap diminati beberapa pengunjung. Tempat keramat tersebut memang selalu dijadikan tempat tirakat (berdoa) khususnya bagi mereka yang mempunyai hajat.

Pengunjungnya tidak hanya dari warga sekitar, tetapi juga wisatawan dari luar Malang. Kabarnya sejumlah pejabat juga sering mendatangi kedua situs ini untuk melakukan beberapa ritual.

Bahkan, menurut rumor yang berkembang, beberapa mantan presiden pun pernah mendatangi sumber ini. Konon dua sumber mata air ini diyakini mempunyai air kahuripan (kehidupan) yang mampu mengobati segala penyakit jasmani maupun rohani. Menurut juru kuncinya, sugesti itu telah banyak terbukti kebenarannya.

Konon pada jaman dahulu Sumber Biru merupakan tempat petilasan Empu Gandring dan hingga kini masih banyak pusaka-pusaka yang masih terpendam di sana. Sumber Biru juga sering disebut sebagai Sumber Batarubuh (bata jatuh) karena terdapat batu bata kuno yang berukuran 30 x 40 cm. Konon tempat itu digunakan untuk mendirikan candi.

Sumber Biru diyakini warga setempat bisa berubah warna menjadi biru. Tetapi perubahan warna itu hanya terjadi saat malam jumat legi saja dan hanya sebagian orang saja yang mampu melihatnya. Perubahan warna sumber dapat dilihat dengan terlebih dahulu melakukan ritual untuk membersihkan hati dan pikiran.

Mata air Sumber Nagan berada di sebuah lereng jurang kecil yang terletak di antara sawah dan ladang milik petani. Dari jalan beraspal, situs ini hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki, menyusuri jalan setapak di pematang sawah milik warga. Setelah itu, menuruni sekitar 20 anak tangga. Sumber Nagan memiliki sumber mata air yang deras dan jernih yang ditemukan pada tahun 1958 oleh Warsanti dan Kol. (Purn) DKM Koeswoto.

Keduanya berasal dari Jawa Tengah. Sumber Nagan dahulunya merupakan mata air yang mengucurkan airnya dari bongkahan batu-batu besar yang dipahat menyerupai kepala sepasang naga raksasa.

Namun pahatan kepala naga itu telah hilang sekitar tahun 1968, begitu halnya patung Syiwa yang ada di Banyu Biru. Pada jaman Kerajaan Singhasari, tempat tersebut diyakini sebagai tempat pemandian Ken Dedes dan Ken Arok. Kesakralan tempat tersebut dipercaya warga sekitar terjadi pada saat malam Sabtu Kliwon.

Warga setempat meyakini bahwa Ken Dedes akan mengunjungi tempat tersebut untuk mandi. Di situlah warga berbondong-bondong untuk ikut berdoa agar keinginannya dikabulkan.

Bagi wisatawan yang tertarik dapat ikut berbaur dengan pencari berkah tersebut.

Menurut beberapa sejarawan, Sumber Biru ini dihubungkan dengan catatan di dalam Negarakertagama yaitu Kêdhung Biru. Letak Dusun Biru tepat di tepi jurang atau kedung, yang memiliki sejumlah sumber air jernih.

Di Sumber Biru ini memang masih memperlihatkan peninggalan purbakala berupa susunan bata merah yang kini terpendam di bawah struktur bangunan baru.

Dahulu di tempat ini ada bukti penanda berbentuk arca Jaladwara (arca pancuran berbentuk naga) dan arca tetak. Akan tetapi, kedua situs itu kini sudah tak ada di tempatnya. Saat itu Prabu Hayam Wuruk singgah di Kedung Biru ketika memenuhi kerinduannya untuk menziarahi leluhurnya di Singasari.

Saat ini, sebagian sumber airnya digunakan untuk kepentingan air bersih dan irigasi masyarakat Biru dan Candirenggo. Sayangnya tempat ini bila dikelola sebenarnya indah, tetapi saat ini terkesan tak terawat.

Minimnya perhatian pemerintah membuat obyek wisata yang menyimpan nuansa kesakralan tersebut jarang tersentuh. Betapa sepinya, yang tinggal hanya gemerisik daun yang rimbun dan aura mistis. ( Nif / Pri ).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button