Life StyleSeni Budaya

Menguak Situs Cagar budaya Makam Mbah Bencolo Kediri

KEDIRI, HALLOJATIMNEWS. com – Cagar Budaya Kediri salah satunya Situs Makam Mbah Boncolo. Makamnya yang berada di kawasan lokasi wisata Selomangkleng, hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki menuju ke atas, hingga beberapa kilometer.

Tempat pemakamanya dinamakan Astana Boncolono. Di Astana Boncolono ada tiga makam yang disemayamkan di sana selain Mbah Boncolo. Dua di antaranya adalah jasad Tumenggung Mojoroto dan Poncolono. “Mereka ini bertiga saudara seperguruan,” kata juru kunci makam.

“Juru Kunci makam Mbah Bentolo menambahkan bahwa keturunan dari Mbah Boncolono sampai sekarang masih ada dan bertempat tinggal di Jakarta. “Keturunannya masih ada. Namanya Japto S Soerjosoemarno SH tinggal di Jakarta,” ucapnya.

Pada tangal 10 September 2004, pihak keluarga besar Boncolo dan seluruh keturunannya telah bekerja sama dengan Pemerintah Kota Kediri, merenovasi Astana Boncolono dan Tumenggung Mojoroto di kawasan wisata Selomangkleng, Kota Kediri.

Pihak keluarga besar Boncolono menyerahkan seluruh bangunan dan fasilitas pendukungnya untuk diresmikan dan dikelola Pemerintah Kota Kediri dalam rangka melestarikan budaya nasional dan menambah aset pariwisata Kediri.

Untuk dapat memudahkan pengunjung yang ziarah ke Astana Boncolono, jalan yang dilalui dibuat seperti layaknya tangga berundak. Jika dihitung jalan tangga berundak tersebut berjumlah kurang lebih 480 tangga.

“Banyak yang datang ke sini, terutama pada hari Kamis malam Jumat, baik laki-laki maupun perempuan. Ya, sekadar untuk berdoa di sana, kadang sore maupun malam hari,” ujar Mbok Saniyem (55), salah satu pemilik warung kopi yang lokasinya berada tepat di bawah Astana Boncolono di kawasan Wisata Selomangkleng.

” Sangat diyakini bila Mbah Boncolono menjadi salah satu tokoh legenda di Kediri, Jawa Timur. Ia memiliki kesaktian dan ilmunya tersebut dipergunakan untuk menolong kaum lemah pada masa penjajahan Belanda dulu.

Mbah Boncolono selalu mendermakan hartanya yang didapat dari kolonial Belanda untuk diberikan kepada rakyat miskin. Karena sepak terjangnya itulah, masyarakat menyebutnya dengan nama panggilan Maling Gentiri.

“Bagi warga lokal Kediri dia adalah pahlawan. Ini, kan, cerita turun-temurun masyarakat yang diyakini kebenarannya pada masa penjajahan Belanda dulu,” tutur juru kunci makam, Sabtu (1/2/2020).

Tidak jelas pada periode tahun berapa Mbah Boncolono tewas di tangan Belanda. Dalam cerita rakyat, Mbah Boncolono tewas terbunuh dengan kepala terpenggal. Selanjutnya tubuh dan kepalanya pun dikuburkan secara terpisah.

Bagian kepala dimakamkan di lingkungan Ringin Sirah, lokasinya yang sekarang terletak di pusat kota, di belakang gedung pusat perbelanjaan. Persisnya di perempatan jalan, antara Jalan Hayam Wuruk – Jalan Joyo Boyo Kota Kediri.

Pengambilan nama Ringin Sirah karena lokasinya terdapat pohon ringin berdiri kokoh begitu besar, serta istilah sirah dalam bahasa Jawa artinya kepala. Konon diyakini cerita dari turun temurun kepala Mbah Boncolono dikubur di sana.

Sementara untuk jasad tubuhnya disemayamkan di dataran tinggi, tepatnya di atas bukit (Gunung Mas Kumambang). Lokasinya masuk ke dalam kawasan wisata Selomangkleng.

Konon kisahnya untuk mengalahkan kesaktian Maling Gentiri, tubuhnya harus dipisahkan. Sebab, jika tidak Maling Gentiri itu dipercaya akan hidup kembali. Meski begitu, Mbah Boncolono dianggap gugur sebagai kesatria dalam membela rakyat kecil. Khususnya di Kediri.

“Sejak berpuluh-puluh tahun lalu makam Boncolono di puncak Bukit Maskumambang Desa Pojok, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri dikenal wingit.

Tak banyak peziarah yang datang selain memiliki hajat dan orang yang mengaku keturunannya.

Meski menjadi bagian dari obyek wisata Goa Selomangleng, satu-satunya destinasi wisata alam yang ada di Kota Kediri, makam Boncolono paling jarang dikunjungi orang. Wisatawan lebih memilih Goa Selomangleng meski hanya berjarak 100 meter dari makam Boncolono. Demikian pula Dinas Pariwisata setempat yang cenderung mengabaikan makam sang Maling Gentiri sebagai lokasi acara budaya.

Letak makam Boncolono yang berada di puncak bukit Maskumambang bisa jadi alasan terbesar enggannya pengunjung untuk singgah. Untuk menjangkau puncak bukit, harus meniti lebih dari 480 anak tangga menuju makam dengan pemandangan hutan di kanan kiri.

Meski terlihat segar dan asri, jangan pernah membayangkan perjalanan menuju makam Boncolono mengasyikkan. Titian tangga yang hampir mencapai 500 anak tangga menjadi satu-satunya jalur pendakian yang harus dilalui. Tak ada yang bisa dilihat selain belantara di kanan kiri yang sunyi. Suara serangga hutan yang acap kali terdengar membuat bulu kuduk berdiri di tengah nafas yang tersengal. Karena itu disarankan untuk melakukan pendakian bersama teman agar tak bosan dan mengantisipasi kecelakaan.

Titian anak tangga mulai mendatar saat mendekati lokasi makam di puncak bukit. Tak langsung terlihat, lokasi makam yang dikelilingi pagar tembok dan pintu kayu menambah kesan angker makam Boncolono. Dari luar pintu kayu terlihat jelas pemandangan di dalam lokasi makam.

Di balik tembok pagar ternyata masih ada tembok batu yang terlihat berusia tua. Tembok batu yang mengelilingi makam itu lebih rendah, kira-kira setinggi 1,5 meter. Di dalamnya terdapat tiga buah makam yang saling berjauhan. Tiap-tiap batu nisan terbungkus kain putih yang mulai kumal. Satu diantaranya tertutup kain putih lebih banyak. Ketiga makam itu berada di bawah rerimbunan pohon Bendo yang berusia sangat tua.

Uniknya, tampilan ketiga makam itu tak senada dengan tembok batu yang mengelilinginya. Jika tembok batu terlihat cukup lama dan dipenuhi lumut, bangunan makam justru terlihat lebih baru. Dibuat dari bata dan semen, makam itu terlihat kerap ditambal dengan adanya lapisan semen baru di sana-sini.

Selain sama-sama tertutup kain putih di batu nisannya, ketiga makam itu juga menyisakan sisa sesaji. Beberapa sesaji tampak baru saja ditinggalkan pemiliknya dengan sisa bunga yang masih segar.

Menurut Mbah Darno, pemilik warung kopi di kaki bukit Maskumambang yang ditunjuk warga sebagai juru kunci, tiga makam tersebut adalah makam Boncolono, Tumenggung Poncolono, dan Tumenggung Mojoroto. Kedua tumenggung itu adalah anak buah Mbah Boncolono atau yang dikenal dengan julukan Maling Gentiri.

Dalam papan nama yang dipasang Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Kediri, tertulis makam Mbah Boncolono sebagai seorang sakti mandraguna yang hidup di jaman penjajajan Belanda. Selama hidupnya Mbah Boncolono berprofesi sebagai maling yang mencuri harta orang kaya untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat miskin. Dia dijuluki sebagai Maling Gentiri. (@Irul).

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button